AUSTEREAD - Pada 2008 lalu, Thomas Beatie membuat heboh dunia lewat kemunculannya sebagai ‘pria pertama yang hamil dan melahirkan’. Kisah kehamilan Beatie pun masih muncul sampai hari ini, dengan berbagai narasi yang kebanyakan salah atau hoaks.
Pada kenyataannya, Beatie memang hamil dan melahirkan. Tapi Beatie bukan pria seutuhnya. Dia terlahir sebagai wanita, namun kemudian memutuskan menjadi transgender. Meski berganti identitas menjadi pria, Beatie tetap mempertahankan organ reproduksi perempuannya.
Karena itu, kehamilan Beatie sejatinya bukan hal yang aneh. Karena pada dasarnya, dia masih seorang perempuan.
Pertanyaannya, apakah pria ‘tulen’ punya kemungkinan untuk hamil?
Terdengar seperti menyalahi kodrat. Tapi bila pertanyaan itu ditujukan kepada ilmuwan dari Naval Medical University, Shanghai, Tiongkok, jawabannya adalah ‘mungkin’.
Apalagi, pada beberapa spesies, individu jantannya ternyata bisa hamil.
Pada kuda laut, misalnya, kehamilan pada individu jantan adalah sesuatu yang alamiah.
Tapi untuk individu yang lebih kompleks, seperti mamalia misalnya, kehamilan pada individu jantan tidak mungkin terjadi secara alamiah. Harus ada campur tangan manusia.
Itulah yang dilakukan oleh para peneliti di Naval Medical University. Belum lama ini, mereka melakukan eksperimen terhadap tikus jantan.
Zhang Rongjia, salah seorang peneliti mengungkapkan bahwa dia dan rekan-rekannya menjahit siku, lutut, dan kulit sepasang tikus betina dan jantan. Operasi ini dikenal dengan nama parabion yang memungkinkan kedua hewan tersebut berbagi darah.
Diketahui bahwa enam minggu setelah operasi, kadar hormon testosteron pada tikus jantan menurun secara signifikan dan jumlah estrogen serta progesteronnya sama dengan yang biasa dilihat pada tikus betina.
Delapan minggu setelah operasi, para peneliti kemudian melakukan transplantasi rahim ke setiap tikus jantan. Selanjutnya, delapan minggu kemudian, mereka memasukkan embrio ke tikus jantan dan betina.
Dari 842 embrio yang dimasukkan ke dalam 46 pasang “tikus siam” tersebut, sepertiganya di tikus betina berhasil berkembang menjadi janin. Sementara pada tikus jantan, jumlahnya sepersepuluh dari total embrio.
Lebih lanjut, ada 10 bayi dari tikus jantan yang dapat bertahan setelah dilahirkan—sekitar 4% dari 280 embrio. Meski begitu, mereka hanya bisa hidup selama tiga bulan. Pada akhirnya, menurut para peneliti, “kehamilan pada tikus jantan tidak layak di tahap ini”.
Hingga sekarang, masih belum jelas apakah eksperimen kehamilan pada pria ini disetujui oleh komite etik nasional. Namun, Zhang Xinqing, ahli bioetika di Peking Union Medical College menyatakan, jika dirinya adalah anggota komite, dia tidak akan menyetujuinya.
Menurut para peneliti, percobaan itu sebenarnya tidak perlu dan justru menyiksa hewan. Nilai pengetahuannya pun tidak ada. Sebab, jika memang laki-laki memang memiliki kemampuan untuk melahirkan, pasti itu sudah diketahui sejak lama.
“Eksperimen tersebut tidak memiliki nilai sosial dan hanya membuang-buang uang dari pajak yang dibayar warga,” kata Qiu Renzong, ahli bioetika dari Chinese Academy of Social Science di Beijing.
Kasus ini mengingatkan kita pada eksperimen yang dilakukan oleh He Jiankui, peneliti Tiongkok, pada 2018 lalu. Kala itu, Jiankui mengumumkan bahwa ia telah ‘menciptakan’ bayi dengan teknik pengeditan gen.
Teknik pengeditan gen untuk kehamilan dilarang di banyak negara karena dianggap sangat tidak etis, terutama terkait persetujuan orang tua bayi dan transparansinya. Selain itu, teknik tersebut juga tidak dapat dipastikan keamanannya dan bisa membahayakan bayi dalam kandungan.
Akibat insiden tersebut, para ilmuwan pun berusaha memperkuat etika penelitian di Tiongkok, termasuk pembentukan komite nasional.
Penulis: Gita Laras
Editor: Mufarendra